Selasa, 27 Oktober 2009

Pengendalian Dampak Teknologi terhadap Lingkungan dengan Perdagangan Karbon dan Pemanfaatan Teknologi Ramah Lingkungan

Dampak kenaikan konsumsi masyarakat dunia terhadap teknologi semakin terlihat jelas seiring dengan perkembangannya. Dampak negatif yang telah dirasakan secara nyata adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah di berbagai penjuru dunia. Salah satunya, seperti yang telah dipaparkan secara gamblang dalam film dokumenter mantan Wakil Presiden AS era Bill Clinton, Algore, “An Inconvenient Truth” adalah terjadinya pemanasan global akibat efek gas rumah kaca (GRK) yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas industri, terutama di Negara-negara maju. AS misalnya, menyumbang 40% dosa emisi dunia.

Sebenarnya dampak pemanasan global sudah mulai dicermati sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Ada laporan ilmuwan tahun 1990 tentang perubahan iklim memberi tanda bahaya bagi kehidupan umat manusia, dan mendesak agar dibentuk suatu kesepakatan global untuk mengatasi perubahan iklim. Pada tahun 1992 disepakati konvensi PBB tentang perubahan iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change atau UNFCCC) yang tujuan pokoknya menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) pada tingkat yang aman dan tidak mengganggu iklim global.

Berbagai pakta diteken setelahnya. Puncaknya adalah pertemuan di Kyoto, Jepang tahun 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto. Perjanjian tersebut mewajibkan Negara-negara industri untuk mengurangi emisi GRK- salah satunya CO2- sebanyak 5,2% di bawah kadar yang mereka lepas pada tahun 1990 dalam kurun waktu 5 tahun (mulai 2008-2012), yang disebut sebagai periode komitmen pertama.

Protokol Kyoto menawarkan tiga mekanisme fleksibel untuk membantu negara-negara industri menekan laju emisi GRK: implementasi Bersama (joint implementation/JI), Perdagangan Emisi Internasional (international emission trading/IET) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (clean development mechanism atau CDM).

Salah satu solusi menarik yang ditawarkan dalam protokol Kyoto adalah CDM karena begitu sulit memaksa negara-negara tersebut mengurangi emisi karbonnya, akibat begitu besarnya ketergantungan mereka pada konsumsi bahan bakar minyak. Sampai sekarang Amerika Serikat saja masih menolak protokol Kyoto.

Melalui mekanisme ini, sebuah proyek penurunan emisi oleh suatu negara atau sektor swasta dapat disertifikasi oleh PBB, sehingga mendapatkan Certified Emissions Reduction (CERs),disebut juga Carbon Credits. Mekanisme ini dapat memberi keuntungan finansial, sekaligus mendukung penanaman modal asing, terbukanya peluang usaha dan lapangan kerja baru, alih teknologi serta pembangunan berkelanjutan.

Melalui perdagangan karbon, negara-negara industri- sebagai penyumbang terbesar emisi gas CO2, penyebab utama pemanasan global- bisa membayar suatu negara berkembang yang mampu mengupayakan pengurangan emisi karbon.

Setiap upaya penurunan emisi yang setara dengan satu ton karbon (tCO2) akan mendapat satu CER (certified emission reduction). Sertifikat yang mirip surat berharga ini dikeluarkan oleh Badan Eksekutif CDM di bawah UNFCCC. Negara industri yang sudah meratifikasi Protokol Kyoto (disebut dengan kelompok Annex-1), atau lembaga non-pemerintah manapun yang merasa berkepentingan, bisa membeli CER ini dari proyek-proyek CDM di negara berkembang (non-Annex-1) yang tidak diwajibkan untuk mengurangi emisi.

Istilah “reduksi emisi karbon” bukan hanya berarti pengurangan kadar karbon yang sudah ada saat ini di udara, tetapi merupakan upaya menekan bertambahnya emisi GRK akibat penggunaan bahan bakar fosil. Jadi, angka-angka tersebut pada dasarnya adalah jumlah karbon yang diemisikan jika tanpa proyek CDM.

Kelemahan solusi ini adalah keleluasaan negara industri maju untuk tetap mengotori atmosfer selama masih mampu membeli CER sebagai kompensasi. Tetapi, keuntungan yang dapat diambil oleh negara berkembang adalah peluang membankitkan perekonomian dengan negara dengan usaha konservasi lingkungan yang menjadi bernilai ekonomi, bukan sekedar beban biaya seperti selama ini. Menurut Agus P.Sari, Direktur Regional Asia Tenggara EcoSecurities ,salah satu pemain besar perdagangan karbon yang bermarkas di Oxford, Inggris, dengan adanya CDM, pengelolaan lingkungan juga berarti aset berharga.

Namun, pada pelaksanaannya, sejauh ini kebanyakan pihak yang berpartisipasi adalah pihak-pihak yang menghasilkan emisi rendah. FIFA, federasi sepak bola dunia, membeli beberapa kredit karbon sehubungan pelaksanaan Piala Dunia 2006 lalu. Sementara Paramount, studio film Hollywood, juga membeli kredit karbon atas setiap emisi yang mereka keluarkan selama proses pembuatan film tentang pemanasan global An Inconvenient Truth (2006).

Setelah meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2004, Indonesia membuka peluang ikut serta dalam arus perdagangan karbon. Berdasarkan Kajian Strategis Nasional sektor Kehutanan dan Energi (KSNKE) yang dilakukan tahun 2001-2001, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi GRK sekitar 23-24 juta ton CO2e pertahun. Jika dikonversi ke nilai CER, potensinya menjadi 230 juta dolar AS dalam setahun (sekitar Rp 2,3 T). Sehubungan dengan itu, Pemerintah Indonesia dalam konferensi Internasional PBB tentang perubahan iklim 3-14 Desember 2007 di Bali, akan menawarkan proposal pemeliharaan hutan hujan tropis di Indonesia dan sejumlah negara lain, yang umumnya miskin ke negara maju, terutama Eropa dan Amerika. Biaya pemeliharaan itu sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab negara maju terhadap perubahan iklim. Karbon (CO2) akan diserap oleh hutan di Indonesia, yang membayarnya nanti adalah sektor swasta yang harus mengurangi pencemarannya. Untuk sektor energi, Chevron Geothermal Indonesia (CGI), melalui proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Darajat Unit III telah mendapat persetujuan, Desember tahun lalu, dengan kapasitas pembangkit 110 MWatt. Menurut data CGI, emisi CO2 dari pembangkit listrik geothermal hanya sekitar sepersepuluh dari emisi yang dihembuskan oleh pembangkit konvensional seperti batubara, dan seperenam dari bahan bakar diesel dan minyak. Selisih jumlah emisi inilah yang bisa dijadikan kredit karbon untuk diperjualbelikan.

Memasuki periode tahun 2012, pencemaran yang terjadi akan lebih besar lagi sebagai ekses pembangunan. Karena itu, diperlukan modal yang cukup besar selain juga teknologi. Namun, terlepas dari meminta ganti rugi, sebenarnya yang lebih penting adalah menjaga serta mengendalikan CO2.

Di samping solusi yang di atas yang telah berjalan selama kurun waktu 15 tahun ini, masih terdapat banyak upaya konservasi lingkungan dari dampak teknologi yang terus bergerak maju, bahkan dengan melibatkan teknologi itu sendiri. Salah satu di antaranya adalah membentuk komitmen bersama negara maju dan berkembang untuk mulai beralih pada pemafaatan teknologi ramah lingkungan menggantikan atau memperbarui teknologi konvensional yang telah banyak mencemari lingkungan, mengganti sumber bahan bakar industri dari fosil dengan energi terbarukan/alternatif, pengelolaan limbah yang tepat dan bertanggung jawab, serta peremajaan bumi dengan reboisasi kawasan hutan penyerap karbon secara besar-besaran dan berkesinambungan.

Langkah konkret yang dapat diambil adalah dengan menciptakan tren opini global lewat media internasional -yang notabene dikuasai negara maju- untuk mengkampanyekan penggantian energi fosil dengan energi terbarukan untuk kelangsungan kehidupan generasi mendatang di bumi ini, kemudian mempersiapkan studi kelayakan pemanfaatan sumber energi terbarukan sesuai potensi wilayah masing-masing. Bagi negara-negara yang telah menjadikan energi terbarukan sebagai bagian dari aktivitas industrinya, perlu mem-break-down teknologi pemanfaatan energi terbarukan kepada negara yang belum dapat melaksanakannya dalam rangka ikut berpartisipasi aktif menyelamatkan bumi, bukan hanya berorientasi ekonomi untuk menghemat bahan bakar industrinya. Alih teknologi energi terbarukan merupakan langkah akselerasi untuk menanggulangi bahaya dampak pencemaran lingkungan lebih lanjut.

Negara berkembang, terutama yang mempunyai potensi sumber energi terbarukan (tenaga air, angin, surya, panas bumi , arus dan termal laut (OWC dan OTEC), hydrogen (fuel cell), dan biomassa), termasuk Indonesia juga harus segera mengambil langkah strategis mempersiapkan diri menuju kemandirian energi sehingga tidak bergantung lagi dengan impor minyak mentah yang selalu tidak sebanding dengan produksi dalam negeri, apalagi dengan kenaikan harga minyak mentah dunia saat ini hingga level US$90 per barel (19 Oktober 2007) yang menekan neraca ekonomi Indonesia.

Persiapan tersebut perlu dilakukan sedini mungkin menuju berakhirnya Protokol Kyoto 2012 mendatang. Sehingga, semua pihak telah siap menghadapi berbagai kemungkinan terburuk akibat pengeluaran emisi GRK selama ini dan berbagai bentuk pemanfaatan energi terbarukan dapat siap beroperasi setelah Protokol Kyoto berakhir nanti.

Referensi :

1. National Geographic Indonesia Magazine, Maret 2007

2. Kompas, Selasa, 9 Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar